Ketika Allah SWT telah menetapkan seorang hamba-Nya yang beriman,
baik itu laki-laki atau perempuan, akan mengalami sakit, maka Dia akan
mengirimkan empat malaikat kepada orang itu. Malaikat pertama
diperintahkan untuk mengambil kekuatannya, maka orang itu menjadi lemah
tidak seperti biasanya. Malaikat kedua diperintahkan untuk mengambil
selera makannya dari mulutnya, maka ia jadi enggan makan walau terkadang
merasa lapar. Malaikat ketiga diperintahkan untuk mengambil kecerahan
wajahnya, maka orang-orang di sekitarnya akan melihat bahwa ia sangat
pucat. Dan malaikat keempat diperintahkan untuk mengambil dosa-dosanya,
maka ia terbebas dari dosa, kecuali dosa yang berhubungan dengan hak-hak
manusia.
Ketika
Allah SWT menghendaki hamba beriman itu sehat kembali, maka Allah
memerintahkan malaikat pertama untuk mengembalikan kekuatannya, dan ia
akan berangsur kuat kembali. Malaikat kedua diperintahkan untuk
mengembalikan selera makannya, maka ia akan senang makan dan itu
membantu memulihkan kesehatannya. Malaikat ketiga diperintahkan untuk
mengembalikan kecerahan wajahnya, maka kepucatan wajahnya berangsur
menghilang dan kembali cerah seperti sediakala.
Tiga
malaikat itu telah selesai melaksanakan tugasnya dan tidak lagi
“membawa” beban apapun, tinggal malaikat keempat yang menunggu perintah
Allah turun kepadanya sehingga ia tidak harus “membawa” seperti ketiga
malaikat temannya itu. Tetapi perintah itu tidak datang-datang juga,
karena itu ia memberanikan diri bertanya kepada Allah, “Wahai Allah,
kami berempat adalah hamba-hamba-Mu yang patuh kepada perintah-Mu.
Mereka bertiga telah Engkau perintahkan untuk mengembalikan apa yang
mereka ambil, mengapa tidak engkau perintahkan aku untuk mengembalikan
apa yang aku ambil dari hamba-Mu itu?”
Allah
SWT berfirman, “Kemuliaan yang Aku miliki tak pantas membuat-Ku
menyuruhmu untuk mengembalikan dosa-dosanya, setelah aku membuatnya
kepayahan karena sakit yang dialaminya!!”
Malaikat keempat berkata, “Lalu apa yang harus aku lakukan dengan dosa-dosanya ini, Ya Allah??”
Allah berfirman, “Pergilah engkau ke laut dan buanglah dosa-dosanya di sana!!”
Malaikat keempat segera turun ke laut dan membuangnya di sana,
dan ia terbebas dari beban sebagaimana ketiga malaikat temannya.
Kemudian dari dosa-dosa yang dibuang tersebut Allah menciptakan buaya
laut, Wallahu A’lam.
Kalau
dalam sakitnya itu sang hamba mukmin meninggal, maka ia akan pergi
menuju akhirat dalam keadaan suci, tanpa membawa dosa-dosanya. Tentulah
dikecualikan dosa-dosa yang berhubungan dengan hak-hak anak Adam
lainnya. Hal ini mungkin salah satu penjabaran dari sabda Nabi SAW,
“Sakit panas sehari semalam adalah pelebur dosa setahun!!”
Dalam
riwayat lainnya Nabi SAW menjelaskan, bahwa ketika seorang hamba mukmin
sakit dan ia tidak bisa mengerjakan amalan-amalan istiqomah yang biasa
dilakukan waktu sehat, maka Allah SWT memerintahkan malaikat mencatat
pahala dari amal-amal kebaikan tersebut untuknya, walau ia tidak bisa
mengerjakannya karena sakit yang dideritanya itu.
Tentulah
semua itu bisa terjadi jika sang hamba mukmin tersebut sabar dan ridho
dengan kehendak Allah kepadanya. Bukan justru “mengadukan/memprotes”
Allah (yang menghendakinya sakit) kepada pengunjung-pengunjung yang
menjenguknya.
Dalam
keadaan sakit tersebut, seharusnyalah seorang hamba melakukan ikhtiar
untuk berobat atau ke dokter, tetapi tidak boleh meyakini bahwa obat
atau dokter tersebut yang menyembuhkan penyakitnya. Kalau keyakinan
seperti itu tertanam, bisa-bisa ia terjatuh pada kesyirikan yang samar
(syiri’ khofi), karena sesungguhnyalah hanya Allah yang berkehendak
menyembuhkan, sebagaimana hanya Dia pula yang menghendakinya menjadi
sakit.
Maka ikhtiar itu ada batasnya, setelah itu harus tawakal
kepada Allah tentang hasilnya, yang mana tawakal tersebut tidak ada
batasnya. Jangan sampai kita “terjebak” dengan pameo “berusaha/ikhtiar
tanpa batas” dan tidak pernah sempat untuk tawakal. Apa jadinya kalau
kita meninggal dalam keadaan ikhtiar, sementara kita belum pernah atau
belum sempat tawakal kepada Allah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
nama
email
komen